Kamis, 28 Mei 2009

WWP: Wiro-Wiki-Partelon

Bagi penggemar Pendekar Kapak Maut Naga geni 212 Wiro Sableng yang sudah lupa2 ingat (atau bahkan yang baru kenal dan ingin 'lebih dekat') dengan sosok pendekar nyentrik bin antik ini, lumrah mencari informasi “wiro sableng” lewat Eyang Google. Dan biasanya “orang pertama” yang direkomendasikan si Eyang untuk di”tanyai” adalah Mbah Wiki. Bahkan info Mbah Wiki tentang Wiro Sableng ini –saya lihat— sudah dipublikasikan secara “copas” di beberapa situs penggemar Wiro.

Secara umum, informasi dan data yang ditawarkan Mbah Wiki sudah lumayan. Namun, ada beberapa tambahan, kebingungan dan bahkan "pelurusan" yang perlu saya share di sini, dengan harapan dapat menjadi sumber informasi tambahan, dan --mungkin saja-- suatu saat (saya bermimpi) partelon jadi rujukan utama penggemar Wiro Sableng, hehehe...
(Catatan: bisa jadi segera setelah tulisan ini dipublikasikan, data dan info Mbah Wiki disunting).

Pertama, tambahan info tentang Beberapa Kesaktian Wiro Sableng: Mbah Wiki menyebutkan 7 pukulan sakti dan 1 jurus silat yang didapat Wiro dari 3 guru utamanya: Eyang Sinto Gendeng, Tua Gila (Dari Pulau Andalas) dan Datuk Rao Basaluang Ameh. Nah, saya ingin menambahkan beberapa pukulan sakti dan jurus silat Wiro yang juga legendaris, terbilang langka dan paling ditakuti di dunia persilatan bahkan manca negara (kan Wiro juga pernah melancong ke China serta Jepang?):

1. PUKULAN DINDING ANGIN BERHEMBUS TINDIH MENINDIH: Diajarkan Sinto Gendeng, berupa angin dahsyat yang berhembus menyebar dan menggempur susul menyusul hanya dengan sekali pukul. Keistimewaan pukulan ini adalah fungsi 3 in 1-nya; dpt digunakan menyerang, bertahan, sekaligus mengembalikan serangan lawan ke pemiliknya. Dalam episode HIDUNG BELANG BERKIPAS SAKTI, pukulan ini membuat Muning Kwengi kalang kabut, karena gempuran nenek berjuluk Iblis Pisau Terbang ini kandas dan mendapatkan dirinya terkatung2 di udara, tak bisa maju atau mundur, laksana tertahan dinding atos.

2. ILMU PEDANG PENDEKAR PEDANG AKHIRAT: Diajarkan dedengkot rimba kangouw Tiongkok , Pendekar Pedang Akhirat (Long Sam Kun), berupa tiga jurus ilmu pedang tingkat tinggi yang masing-masing bernama “Cip-hian Jay-bong (Tiba-tiba Muncul Pelangi)”, “Lo-han Ciang-yau (Malaikat Menundukkan Siluman)” dan “Kui-gok Sin-ki (Iblis Meratap Malaikat Menangis)”. Selain di episode –tentu saja— PENDEKAR PEDANG AKHIRAT, ilmu pedang ini –walaupun jarang sekali-- juga dikeluarkan oleh Pendekar 212 di beberapa episode lain, di antaranya dalam NERAKA PUNCAK LAWU.

Kedua, pelurusan info. Mbah Wiki menyebutkan bahwa jurus “Orang Gila Mengebut Lalat” adalah salah satu bagian dari rangkaian Ilmu Silat Orang Gila. Padahal, saudara-saudara, jurus “Orang Gila Mengebut Lalat” BUKAN bagian dari rangkaian Ilmu Silat Orang Gila (yang diajarkan Tua Gila pada Wiro saat si pendekar keblinger berambut gondrong ini bertualang di Pulau Andalas dalam episode BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG). Wiro sudah membekal jurus “Orang Gila Mengebut Lalat” warisan Eyang Sinto Gendeng sejak pertamakali ia turun gunung dengan menyandang gelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dalam episode perdana berjudul 4 BEREWOK DARI GOA SANGGRENG dituturkan bahwa Wiro menggunakan jurus ini untuk ‘menyerang’ Sinto Gendeng saat guru-murid itu berlatih tanding di Gunung Gede!

Ketiga, kebingungan (membaca) info. Dalam sub-judul Adaptasi disebutkan bahwa “Sinetron dibintangi Herning Sukendro dan film dibintangi Abhie Cancer sebagai Wiro Sableng”. Padahal –seingat saya-- Wiro Sableng versi layar perak dibintangi oleh Tonny Hidayat (salah satu filmya berjudul SILUMAN TELUK GONGGO, diadaptasi dari episode WS berjudul sama) dan Atin Martino (dalam film semisal SATRIA KAPAK TUTUR SEPUH, versi 'ganti judul' dari episode Rahasia Lukisan Telanjang) ; sedangkan di layar kaca/sinetron, yang ‘dipercaya menghidupkan’ karakter Pandekar 212 adalah Herning Sukendro (Kenken) dan Abhie Cancer.

Juga, masih dalam sub-judul Adaptasi, disebutkan bahwa Wiro Sableng telah difilmkan dengan judul-judul PERAMAL SINTING & PENDEKAR KECAPI, PEMBALASAN NYOMAN DWIPA, dan PEREBUTAN LUH AYU TANTRI. Sesungguhnyalah ke tiga judul tersebut bukanlah film, tapi sinetron (produk Herry Topan Intercine) yang kemudian dirilis dalam format VCD. Bahkan –yang paling ‘aneh’-- PEREBUTAN LUH AYU TANTRI dan (ada lagi rilisan VCD ‘senada’ namun dengan judul) SEPAK TERJANG COKORDA GDE JANTRA sejatinya adalah satu rangkaian kisah dengan PEMBALASAN NYOMAN DWIPA.

Senin, 25 Mei 2009

A MATTER OF LIFE AND DEATH

Beberapa waktu lalu, saya sudah bicara sedikit tentang salah satu sub genre film2 kesukaan saya yaitu thriller-horror. Sekarang, dengan judul A MATTER OF LIFE AND DEATH ini, saya kembali ingin ‘mempertanggungjawabkan’ sub-genre lain yang juga demenan saya, yaitu thriller-action (ato diringkas saja jadi action/laga, gitu).

Film action adalah sebuah thriller dengan alur kisah fokus pada 1 atau 2 orang karakter utama sebagai ‘pahlawan’nya, dengan ‘motif’ khas laga semacam balas dendam, harga diri, pelaksanaan tugas negara dan sebagainya. Tak heran jika kemudian bintang utamanya lumrah memerankan sosok polisi, tentara (baik masih aktif atau sudah berpangkat ‘mantan’), agen pemerintah, bahkan ‘orang biasa’ yang mendadak jadi pahlawan hanya karena faktor right guy in a wrong place at a wrong time.

Karakteristik umum film jenis ini seringkali berupa situasi berpacu dengan waktu; tokoh protagonis-antagonis yang jelas; menampilkan banyak adegan kekerasan dari hulu ke hilir yang berupa tembak menembak, kejar-kejaran mobil (sampai kecelakaan dahsyat), duel senjata api (seperti dalam film2 wild west atau lazim disebut film koboi), hand-to-hand combat alias pertarungan tangan kosong, ledakan; dan berbagai adegan gegap-gempita lainnya. Film-film ini –bisa dipastikan-- juga memiliki elemen film drama, misteri dan kriminal bahkan horror, yang tidak terlalu ditonjolkan.

Secara spesifik, film laga –menurut saya-- bisa dikategorikan dalam banyak kelompok. Di bawah ini adalah 3 kategori film laga versi saya. Dan seperti biasa, saya menamai masing2nya dengan nama yang saya comot dari judul album/lagu beberapa band pengusung aliran heavy metal:

1. BE QUICK OR BE DEAD (atau “laga tarung”): film2 action yang menitikberatkan pada penggarapan secara artistik dan maksimal aksi pertarungan tangan kosong berbasis seni beladiri, dengan bintang utama yang –biasanya dan seharusnya-- juga menguasai beladiri (walaupun pihak produser kerap masih merasa perlu melibatkan fighting coreographer). Memang terkadang ada adegan tembak menembak dan unsur2 action yang lain, namun itu tak lebih sekedar sisipan belaka. Dalam tipe ini, bermunculan nama2 legendaris dari berbagai negara dan bangsa yang sukses sebagai aktor berbekal (rata2 lebih dari satu cabang) ilmu beladiri tingkat tinggi.

Bisa disebut bahwa pionir laga tipe ‘bag-big-bug’ ini adalah Bruce Lee (master Kung Fu, khususnya cabang Wing Chun dan pencipta aliran Jeet Kune Do), yang berjaya pada era 70-an dgn film2 antara lain The Big Boss (a.k.a Fist of Fury, 1971), Fist of Fury (a.k.a The Chinese Connection, 1972), Way of The Dragon (a.k.a Return of the Dragon, a.k.a Revenge of the Dragon, 1972), Enter The Dragon (1973) dan Game of Death (1973). Sosok yang kematiannya disesaki aroma kontroversi ini cukup besar pengaruhnya bagi kemunculan ‘pendekar’2 di dunia film dengan bebagai aliran seni beladiri masing2, semacam Chuck Norris, David Carradine, Jackie Chan, Sammo Hung, Sho Kosugi, Steven Seagal, Jean Claude Van Damme, Dolph Lundgren, Jet Li, Donnie Yen, Brandon Lee (putera Bruce Lee), Mark Dacascos, Billy Banks, Lorenzo Lamas, Michael Jay White, Jeff Speakman, Cynthia Rothrock, Michelle Yeoh, Cathy Long, Matt Mc.Colm, David Bradley, Richard Norton, Don “The Dragon” Wilson, Wesley Snipes, Phillip Rhee, Gary Daniels, Daniel Bernhardt, Bryan Ganesse, Thomas Ian Griffith, Olivier Gruner, Jerry Trimble, Jason Statham, Scott Adkins, dan sebagainya (bejibun, bo!), termasuk martial artists spesialis bad guys semacam Cary-Hiroyuki Tagawa, James Lew dan Bolo Yeung (yang terakhir ini pernah juga ‘ngerasain jadi orang baek’ dalam Shootfighter, 1992); dan yang paling fenomenal saat ini, Tony Jaa (aktor laga multi talent asal Thailand yang konon sedang jadi rasan2 untuk ditarik ke Hollywood). Dari negeri kita juga ada nama2 legendaris seperti Advent Bangun, Barry Prima, Willy Dozan, Johan Saimima, George Rudy, Advent Christie, Dede Yusuf, Marcelino Lefrandt dan Arie Wibowo.

Tipe ini juga bisa dibagi lagi menjadi 3 macam:

Pertama, film2 laga yang sepenuhnya ‘pamer’ beladiri dengan adegan full body contact mendominasi durasi film. Settingnya pun kebanyakan adalah arena atau ring. Anda yang penggemar film2 laga tentu masih ingat judul2 semacam Bloodsport (1988- Van Damme, disusul beberapa sekuelnya dengan aktor Daniel Bernhardt), Kickboxer (1989-Van Damme, juga dengan beberapa sekuelnya dengan aktor Sasha Mitchell sampai Mark Dacascos. Juga beberapa film sejenis dangan aktor Loren Avedon, Billy Blanks, John Barrett, Dale “Apollo” Cook, dan lain2), A.W.O.L (a.k.a Lionheart a.k.a Wrong Bet, 1990-Van Damme), The Quest (1996-Van Damme), Sidekick (1992-Chuck Norris), Best of The Best 2 (1993-Phillip Rhee), Shootfighter (a.k.a Fight to the Death, 1992-Bolo Yeung), dan Fearless (a.k.a Huo Yuanjiam, 2006-Jet Li).

Kedua, jenis film2 laga yang paling banyak dibuat; film2 yang ‘seolah’ bercorak action secara umum, tapi ‘diam-diam’ menonjolkan kemampuan (bukan akting tapi) beladiri aktor2 utama-nya. ‘Skenario’nya pun lebih variatif ketimbang yang pertama:

Ada yang dibuat dengan formula ‘die hard’; satu karakter utama yang harus pontang-panting dan babak belur ngurusin ‘masalah hidup-mati’, di lokasi setting yang serba terbatas pula. Sebagai illustrasi, ada Death Warrant (1990-Van Damme, bersetting penjara), Under Siege (1992-Steven Seagal, bersetting kapal perang AS, USS Missouri), Under Siege 2: Dark Territory (1995-Steven Seagal, bersetting kereta api), Passanger 57 (1992-Wesley Snipes, bersetting pesawat penumpang), dan Deadly Outbreak (a.k.a Siege, 1996-Jeff Speakman, bersetting gedung laboratorium).

Ada juga garapan berstyle spionase dengan jalinan kisah yang agak rumit, intrik politik, plus setting yang melibatkan banyak tempat bahkan antar negara. The Art of War dan The Art of War II: Betrayal (2000 dan 2008-Wesley Snipes), juga --yang paling keren dan paling baru-- 3 jilid The Transporter (2002, 2005, dan 2008-Jason Statham) adalah contohnya.

Pun ada yang digarap dengan ‘aroma’ sci-fi semacam Cyborg (1985-Van Damme, yang diikuti banyak film sejenis), Universal Soldier (1992-Van Damme), TC_2000 (1993-Billy Blanks), Universal Soldier: The Return (1999-Van Damme), Time Cop (1994-Van Damme), Sci-Fighter (2004- Don 'The Dragon' Wilson, Cynthia Rothrock, Lorenzo Lamas), dan lainnya.

Lalu, ada yang ber’bau’ thriller-horror semacam Hellbound (1994-Chuck Norris), Marked for Death (1990-Steven Seagal), The Minion (1998-Dolph Lundgren), trilogi Blade (1998, 2002, 2004-Wesley Snipes) dan I’m, Omega (2007-Mark Dacascos).

Terus, ada pula yang berbasis fighting game populer, semacam Street Fighter (1994-Van Damme), Double Dragon (1994-Mark Dacascos), Mortal Kombat (terutama versi serial TV-nya, Mortal Kombat: Conquest, yang di Indonesia pernah tayang di RCTI pada 1998-1999 dengan salah satu pemeran utama Daniel Bernhardt) dan Fist of The North Star (1995-Gary Daniels).

Juga ada yang dibuat dengan setting jaman baheula; jenis film yang menjadi kesukaan sineas2 Hongkong dan Indonesia, walaupun studio Hollywood juga sempat membuat beberapa (dan tetap ‘berwajah’ Cina), semisal Once Upon A Time in China And America (1997-Jetli) dan Shanghai Noon (2000-Jackie Chan).

Kemudian juga, film2 tarung yang kental dengan dengan balutan komedi. Contohnya sama sekali tidak sulit; rata-rata film Jackie Chan adalah film “bag-big-bug sambil haha-hihi” (atau sebaliknya?), baik yang dibuat di Hongkong atau produk Hollywood.

Terakhir, yang paling umum, film2 laga tarung yang digarap dengan konsep “I’ll do this in a hard way!”. Jumlahnya pun mencapai bahkan ratusan judul dan --bisa dikatakan-- semua aktor ‘tukang gebuk’ yang saya sebutkan di atas pernah memerankan karakter utamanya (baik rilisan studio2 besar atau yang dirilis langsung dalam format home video). Sebagai illustrasi, beberapa judul yang (cukup berkesan bagi saya dan) bisa saya sebutkan antara lain: Double Impact (1991,-Van Damme), Out for Justice (1991-Steven Seagal), Rapid Fire (1992-Brandon Lee), Blood for Blood (1995-Lorenzo Lamas), Drive (1997-Mark Dacascos), Bride of Dragons (a.k.a Bridge of Dragons, 1999-Dolph Lundgren), Tom Yun Goong (a.k.a The Protector, 2005-Tony Jaa) dan IP Man (2008-Donnie Yen).

Ketiga, film3 laga tarung yang plot, tema, maupun alur ceritanya lumrah mengadaptasi salah satu dari 2 tipe di atas, atau bahkan kedua-duanya sekaligus. Bedanya, tipe ini –secara terang2an atau ‘malu2’—dibuat sebagai media pengenalan jenis beladiri tertentu, seperti aikido oleh Steven Seagal (dalam Above The Law a.k.a. Nico, 1988), capoeira oleh Mark Dacascos (Only The Strong, 1993), kenpo-karate oleh Jeff Speakman (Street Knight, 1993), tae kwon-do oleh Phillip Rhee (Best of The Best, 1989), savate (beladiri khas Prancis) oleh Olivier Gruner (Savate, 1995), dan muay thai alias thai boxing oleh Tony Jaa (Ong Bak a.k.a Muay Thai Warrior, 2003. Walaupun Hollywood telah membuat banyak film sebelumnya yang ‘membawa-bawa’ nama thai boxing, tapi film inilah yang paling detil memperlihatkan kekayaan gerakan2 khas beladiri asli Thailand itu).

O iya, salah satu kreatifitas keren dalam sebuah film laga tarung yang juga saya sukai adalah ide ‘mengadu-domba’ 2 aktor laga terkenal (yang sama2 biasa jadi aktor utama) dalam satu film. Way of The Dragon (1972, yang menampilkan fighting scene dahsyat Bruce Lee vs. Chuck Norris) mungkin bisa disebut pendahulu dari film model begini. Lalu ‘menyusul’ film2 semodel dengan adegan fighting keren semacam: Black Eagle (1988-Sho Kosugi vs. Van Damme), Showdown in Little Tokyo (1991-Dolph Lundgren vs. Brandon Lee), Cold Harvest (1999-Gary Daniels vs. Bryan Ganesse), Exit Wounds (2001-Steven Seagal vs. Michael Jai White), Cradle to The Grave (2003-Jet Li vs. Mark Dacascos), serta –yang terbaru—The Forbidden Kingdom (2008-Jackie Chan vs. Jet Li), di samping Universal Soldier dan Universal Soldier: The Return (yang masing2 mengadegankan Van Damme vs. Dolph Lundgren dan Van Damme vs. Michael Jai White).

Dan, sungguh, saat ini saya berharap ada film yang mempertemukan Donnie Yen vs Tony Jaa...

(--mungkin—bersambung ke kategori 2 dan 3)

Sabtu, 23 Mei 2009

EwOT DaN KeTAGIHaN...

Ewot ini kuterima dari seorang teman baru asal Bekasi, Jawa Barat bernama ringkas Irma (untuknya, kuhaturkan stok TERIMAKASIHku yang SEGEDE IKAN PAUS NELEN GUNUNG KRAKATAU!). Saya dan --seperti biasa-- Pak Sukalér baru saja memajang ewot cantik ini, berjejeran dengan ewot2 sebelumnya yang telah saya terima dari beberapa teman.

"Wah, ewotnya Mas Partelon dah lumayan banyak, yak" kata Pak Sukalér sambil memandangi ewot2 yang terpajang di dinding. "Kapan ya saya bisa dapet ewot?" lanjutnya setengah berkhayal.

"Hehehe," saya terkekeh. "Ya, bikin blog dulu dong, Pak. Trus blogwalking..."

"Blogwalking?" Pak Sukalér bertanya memotong kata2ku. "Apa pula itu, Mas?"

"Blogwalking itu, ya... kayak berkunjung ke blog2 milik orang laen, gitu." jawab saya.

"O, kek 'kelayapan', ya?" kata Pak Sukalér manggut2 dengan bibir mecucu seperti gunung berapi dengan posisi berbaring miring.

"Ya, kira2 gitu deh..." terang saya sambil menahan geli.

"Tapi, saya males bikin blog, Mas. Takut ketagihan. Bisa2 malah kerjaan jadi terbengkalai gara2 nongkrongin kompi terus..." kata Pak Sukalér melanjutkan.

"Lho, emang Pak Sukalér punya kompi?" tanyaku heran.

"Enggak."

Mendengar jawaban Pak Sukalér yang ringkas dengan wajah tak merasa bersalah sedikitpun itu, perut saya sampai mules menahan tawa.

"Eh, Mas," Pak Sukalér tiba2 berucap. "Inget 'ketagihan', saya jadi inget peristiwa kemarin malam waktu saya maen2 ke kantor polsek kita."

"Emang ada apa, Pak?" tanya saya, terus terang saja, penasaran.

"Pokoknya, garing banget dah! Kalo Mas Partelon ngeliat wajah polisi petugas piket waktu itu, pasti gak bakalan tega! Kayak orang sakit gigi ditawarin jagung bakar harum kesukaannya! Kekekekkk!"

"Iya, peristiwanya gimana?"saya mendesak.

"Iya, iya. Gini nih..."

***

Seorang polisi petugas piket suatu malam mendapat telepon dari seorang wanita, katanya ia baru saja diperkosa. Polisi itupun menanyakan ciri2 si pelaku yang dengan gamblang dijelaskan oleh si wanita.

Lalu --setelah mencatat nama dan alamat si wanita serta ciri2 'pelaku'nya-- dengan mantap si polisi berkata: "Jgn kuatir, Bu. Dalam waktu 1 x 24 jam, pelaku itu akan kami tangkap dan kami tahan, Lalu..."

"Eh, jangan salah, Pak." si wanita memotong. "Saya cuma pingin tau alamatnya, kok!"

Senin, 18 Mei 2009

KBS

Pada Senin, 11 Mei yang lalu, saya dan anak2 --al-hamdu li-Llāh-- masih diberi kesempatan oleh Allah untuk kembali 'sowan' ke beberapa makhlukNya yang kompak guyub ngumpul di Kebun Binatang Surabaya (KBS), salah satu lokasi favorit saya untuk 'muhāsabah' dan 'melepas kangen' selain Taman Safari II Prigen Pasuruan (juga di wilayah Jawa Timur) dan Sea World Indonesia di Ancol.
Setelah membayar tiket seharga Rp. 10.000,- (untuk pengunjung usia 3 tahun ke atas), saya dan pasukan saya mulai memasuki gerbang lokasi KBS yang latar depannya berupa patung Sura (Hiu) dan Baya (Buaya) itu, untuk selanjutnya (mencoba) menikmati tafsir lain tentang ke-Maha Kaya-an Gusti Allah....

***

Kemunculan kami langsung disambut wajah ramah si "Mbah", seekor orangutan Kalimantan yang kayaknya pantas jadi sesepuh di situ, dan seekor monyet --yang menurut saya-- sejenis tamarin. Selanjutnya, setelah menyapa si 'murah senyum' Bang onta Arab, saya mengajak rombongan mengunjungi bebrapa anggota KPK alias Keluarga Predator Keren:

Dimulai dari sepasang fishing cat, lalu beberapa ekor buaya dari jenis buaya julung-julung, buaya Irian, dan --the magnificent one-- buaya muara.

Baru setelah 'jumpa awal' itu, kami berlanjut ke si imut yang mematikan, beruang. Lebih dulu kami jumpai Beruang madu; jumlahnya lebih dari 5 ekor. Sebagian ada yang 'ngekos' dibalik kerangkeng baja, sebagian ada pula yang di area terbuka dengan selokan lebar dan dalam sebagai pembatas antara kita (wew, melow, cing!). Lalu kami beralih ke sepupunya yaitu sepasang Beruang Hitam Amerika.

Kami kemudian pindah ke 'marga' lain, marga kucing besar. Yang kami kunjungi pertamakali adalah seekor panther (atau lazim disebut "macan kumbang", yang kebetulan dari jenis jaguar); lalu seekor leopard yang tengah terkantuk-kantuk (dan posisinya out of focus dari kamera saya), dan akhirnya, sampailah kami di hadapan salah satu favorit saya, 5 ekor harimau jenis harimau sumatera, yang terpisah dalam 3 kerangkeng baja kokoh. Kami juga 'menyapa' seekor' harimau putih (kayaknya dari jenis harimau bengala) dan seekor singa (entah yang made in Africa ato Asia). Namun 2 kawan yang terakhir ini keknya lagi gak pingin nampang, ngumpet di balik rerimbunan semak dan pepohonan di 'wilayah' masing yang --sayang sekali, padahal-- berupa tempat terbuka a la rimba mini.

'Perburuan' kami berlanjut ke area khusus akuarium (untuk binatang2 air semacam ikan, reptil dan amphibi. Untuk masuk kami harus kembali beli tiket seharga Rp. 3000,-/pengunjung di atas usia 3 tahun). Di daerah ini, saya dan para followers memulai dari kolam berisi 3-4 ekor ikan arapaima pirarucu (asal sungai Amazon), namun karena kolam asli mereka sedang di rehab, mereka bertempat sementara di sebuah kolam yang gak menarik untuk di foto. Selanjutnya, masih di wilayah itu, kami juga melihat koleksi lain dari berbagai ular, buaya, penyu, dan kura-kura sebelum akhirnya masuk ke gedung akuarium-nya. Di sini, ruangan dibagi2, masing2 untuk koleksi ikan air tawar dan ikan air asin. Di daerah air tawar, kami bertemu dengan ikan2 langka semacam piranha dan sorubim (dengan berbagai jenisnya). Sedangkan di daerah air asin, saya memimpin rombongan langsung menuju the amazing sharks, tepatnya (yang ada 'hanya') ikan2 hiu jenis blacktip reef dan nurse sharks.

Puas melepas 'rindu' dengan 'mereka', kami putuskan untuk melepas lelah di area playland; saya dan anggota berumur lainnya istirahat, sementara si sulung dan adiknya berpuas2 bermain dengan berbagai fasilitas dan sarana melatih ketangkasan yang lumayan lengkap (termasuk sejenis boogey jumping).

Akhirnya, dengan menahan keinginan untuk membuat rumah di dalam area KBS (saking betahnya), saya mengajak rombongan meninggalkan tempat wisata fauna keren ini. Sambil menuju pintu keluar, kami sempatkan untuk 'berpamitan' pada anoa, kuda nil pigmi, dan beberapa ekor komodo...

***

Ini dia (sebagian) 'oleh'2 perjalanan kami...



Sabtu, 16 Mei 2009

YaaaAAA...

Asap rokok tampak mengepul ber-buntal2 dari mulut Pak Sukalér. Sambil menjentikkan abu rokoknya ke asbak, ia bertanya pada saya: "Gimana, Mas? Pas posisinya?"

"Sip, Pak. Tadi memang agak miring dikit, tapi sekarang sudah pas kok..." jawabku sambil memandang award yang baru saja dipajang Pak Sukalér di dinding rumahku. Pak Sukalér baru saja membawakan award ini:yang katanya dititipkan oleh Neng YolizZ untuk beberapa teman termasuk saya. Pak Sukalér juga berbaik hati membantu saya memajangnya.

"Eh, iya Pak," kataku. "Kalo ketemu sama Neng YolizZ, bilangin ya, terimakasih saya seGEDE PETRONAS DI BUNTINGIN MONAS untuknya."

"Ya, ya. I. Allah... Eh, sebentar," Pak Sukalér lebih dulu menyedot rokoknya, lalu melanjutkan: "biasanya seGEDE GAJAH BUNTING. Kok sekarang pake kalimat lain, Mas?"

"Iya, Pak. Yang lama lagi ada yang minjem. Ya udah, Saya pake yang baru. Untung stoknya masih ada, hehehehehe..."

"Hehehehe..." Pak Sukalér ikutan terkekeh-kekeh, seolah ingin mengabarkan, bahwa salah satu gigi depannya sudah 'pindah rumah'. "O iya, semalam jamaah Isya' di mushalla Pak Syaikhi geger, Mas. Beberapa jamaah di shaf belakang dan di depannya mendadak terpingkal-pingkal, bahkan ada yang pake acara terkentut-kentut segala. Dan akibatnya, sholat mereka amburadul gak karu2an!"

"Wah! Emang kenapa, Pak?" tanyaku pingin tahu.

"Ceritanya gini..."

***

Tiga orang santri muraahiq (yakni seseorang yang mencapai usia pasca tamyiz dan sebelum baligh) tampak tengah mengikuti sholat berjamaah (yang saat itu telah memasuki awal rakaat ke-3) dgn (terlihat) khusyu' di jajaran shaf paling belakang.

Tiba2, melihat seekor cecak jatuh ke atas sajadahnya, santri muraahiq paling kiri bersuara: "Hiiiiiii, ada cecak...!".

"Sssst!" santri muraahiq di sebelah kanannya mendesis, lalu berbisik: "Kalo lagi sholat ga boleh bicara! Batal lho shalatnya!"

Santri muraahiq paling kanan, dengan santai, nyeletuk: "Untung dari tadi aku ga ngomong apa-apa!"

Selasa, 12 Mei 2009

FEAR Of The DARK

Jika Anda membaca profil saya, maka di kolom Film Favorit, Anda akan menemukan beberapa judul film yang secara umum bisa dikelompokkan menjadi 2 macam ‘warna’, yaitu laga (action) dan horor. Mengapa saya katakan “secara umum”? Karena sebenarnyalah, setiap kisah fiksi, terutama film, selalu teramu dari campuran 3 formula utama, yaitu thriller, drama, dan komedi; dengan kadar dominasi yang berbeda, tergantung ‘selera’ sang koki (baca: penulis naskah dan/atau sutradara) tentunya.

Thriller biasa didefinisikan secara bebas dengan “petualangan yang mendebarkan”. Sebuah film yang kental unsur thrillernya lumrah memacu adrenalin penonton dengan mengalurkan rangkaian petualangan seorang atau beberapa orang dalam rangka membendung atau menggagalkan usaha2 jahat pihak lain sambil menyelamatkan banyak makhluk ‘tak berdosa’. Saat sebuah thriller mengangkat tema kematian, alam gaib dan monster seraya menitik beratkan pada upaya membangun atmosfer rasa takut, kengerian dan teror sebagai respon penonton, maka thriller itu kemudian lazim dikenal dengan nama film HOROR. Dengan kata lain, setiap film horor mestilah thriller, dan tidak sebaliknya. Nah, lewat postingan bertajuk Fear of The Dark ini, saya ingin berbagi dengan Anda, tentang apa dan bagaimana film horor.

Sampai saat ini, film horor sering diasumsikan sebagai film2 berbujet rendah dengan rating B dan hanya mengeksploitir kekerasan belaka. Walau begitu, toh banyak studio besar dan sutradara sekaliber Alfred Hitchcock, Tim Burton, Roman Polanski, Stanley Kubrick, William Friedkin, Richard Donner, Francis Ford Coppola, dan George A. Romero yang dengan ‘senang hati’ terlibat bahkan membidani kelahiran film2 jenis ini.

Munculnya film spesialis tukang ngagetin orang ini dimulai pada 1890-an, dengan dirilisnya film bisu pendek karya Georges Méliès dengan judul Le Manoir du Diable (a.k.a. The House of the Devil). Film ini pun dihargai sebagi film horor pertama. Baru pada era 1910-1920-an, film horor yang berdurasi panjang mulai dibuat, pada awalnya, oleh sineas2 Jerman.

Dari amatan saya –sebagai seorang yang sungguh bukan ahli film, tapi hanya ‘ahli’ nonton doang-- film2 horor bisa dikelompokkan dalam 2 jenis dan saya beri nama dengan (judul album/lagu bergenre heavy metal):

1. THEM, untuk film2 horor berbasis supranatural dan alam gaib. Jenis film inilah yang sejak awal sampai sekarang tetap mempertahankan bentuk baku dari kisah bernama horor itu sendiri. Film horor kelompok ini bisa dibagi kembali dalam 2 kategori:

Pertama, film2 horor yang berkutat di seputar karakter utama berujud hantu dan iblis yang divisualisasikan dari mitos, legenda atau novel2 bergenre gothic. Nama2 yang kemudian melekat erat di benak kita antara lain adalah Vampire (makhluk mitos spesialis penghisap darah, yang dipopulerkan oleh John Polidori lewat The Vampyre, 1819), Nosferatu (muncul perdana lewat film karya F.W. Murnau, 1821), Dracula (rekaan Bram Stocker, 1897. Film yang paling berkesan tentangnya adalah karya brilian Francis Ford Coppola, Bram Stocker’s Dracula, 1992), Frankenstein (rekaan Mary W. Shelley, 1818. Karakter ini pertamakali diperkenalkan dalam film pendek rilisan 1910 karya Thomas Edison), Wolf Man (yang dalam tradisi Hollywood lebih terkenal dengan nama “werewolf” ini muncul perdana lewat film karya penulis Curt Siodmak dan sutradara George Waggner, 1941), mummy (dipopulerkan oleh Carl Lemme dalam The Mummy, 1931), zombie atau mayat hidup (sering juga disebut dengan living dead, dipopulerkan oleh Richard Matheson, 1954, dan pertamakali dilayarlebarkan oleh sutradara spesialis zombie, Goerge A. Romero lewat Night of The Living Dead, 1968), dan lainnya. Dari dalam negeri kita juga mengenal nama2 legendaris semacam Kuntil Anak, Sundel Bolong, Wewe Gombel, dan yang terkini, Suster Ngesot. Namun dari sekian nama itu, Om Drakula-lah ‘selebritis’nya. Om berwajah pucat dan suka tidur dalam peti mati ini adalah yang paling banyak difilmkan –konon sampai mencapai 160 film--!

Kedua, film2 horor yang lebih menekankan bukan pada karakter tertentu, tapi pada suasana atau kesan sebagai ujung tombaknya dengan menjunjung se-konstan mungkin elemen ketakutan di sepanjang film. Amytiville Horror (1979), Haunting (1963), House on Haunted Hill (1959), Village of The Damned (1960), Death Ship (1980), Sleepy Hollow (1999), Stephen King`s Rose Red (2002); lalu ada Beranak Dalam Kubur (1972), Dikejar Dosa (1974), Bisikan Awah (1988) dan Jelangkung (2001); sampai yang akhir2 ini menjadi kesukaan Hollywood untuk meremark, J-Horrors (istilah untuk film2 horor made in Jepang) semacam Ringu (a.k.a. The Ring, 1988), Ju-on (a.k.a. The Grudge, 2000) dan Honogurai Mizu No Soko Kara (a.k.a. Dark Water, 2002;) adalah sedikit contoh dari ratusan film kategori ini.

2. KILLERS, untuk film horor tipe ‘slash and dice’; yang secara vulgar membasahi layar perak dengan banjir darah dan kengerian yang ‘menjijikkan’. Karakteristik film ini ada pada kemunculan ‘monster’ yang sejak awal sampai akhir kerjaannya hanya membunuh dan mempreteli tubuh korban2nya belaka. Film jenis inipun –berdasarkan jenis ‘monster’nya-- bisa dispesifikkan lagi menjadi 2 kategori:

Pertama, film2 yang menggambarkan tingkah gila seorang psikopat. Para pembunuh ‘sakit’ pun mulai berkeliaran di bioskop2 seluruh dunia. Dan kecintaan penonton pada 'mereka' ini melahirkan karakter2 semacam Jason Voorhees (Friday The 13th, 1980), Michael Myers (Halloween, 1978), Leatherface (The Texas Chainsaw Massacre, 1974), Hannibal Lecter (Manhunter, 1986), dan Jigsaw (SAW, 2004) yang film2nya dibuat sampai berjilid2. Ini belum termasuk film2 lain semacam Motel Hell (1980), Alone in The Dark (1982), Hostel (2006), para penjagal kampus yang gentayangan di Scream (1996) dan I Know What You Did Last Summer (1997) serta cerita2 tentang kanibalisme yang dipelopori The Year of The Cannibals (1970).

Kedua, film2 yang meletakkan kata ‘monster’ secara ‘pantas’ dengan meng’kasting’ binatang dan makhluk2 lain diluar manusia sebagai tokoh sentral. Dan beberapa jenis binatang pun telah ‘beruntung’ naik pangkat menjadi ‘binatang’ film; mulai dari binatang yang ‘nyata-nyata’ menakutkan seperti gorilla (Kingkong, 1933), kadal (Komodo, 1999), babi hutan (Razorback, 1984), ular (Anaconda, 1997), singa (The Ghost And The Darkness, 1996), ikan piranha (Piranha, 1978), gurita (Monster from The Ocean Floor, 1954; Tentacles, 1977), buaya (Crocodile, 1979; Alligator, 1980; Lake Placid, 1999), serta --yang paling sering ‘main’ film—ikan hiu dengan berbagai jenisnya (Jaws, 1975; Great White, 1982; Deep Blue Sea, 1999; Red Water, 2003; Megalodon, 2004) dan binatang2 pra sejarah (yang paling fenomenal adalah Jurassic Park, 1992), sampai binatang2 yang aslinya tidak ‘semenakutkan itu’ seperti kelelawar (Bats, 1999) dan laba-laba (Tarantula, 1955); bahkan yang ‘seharusnya’ sama sekali tidak menakutkan semacam kodok (Frogs, 1972), kecoa (Mimic, 2003) dan semut (Empire of The Ants, 1977). Kreatifitas para sineas juga mengundang monster2 ‘tetangga’ kita dari luar angkasa berbondong-bondong menebar kengerian dan teror berdarah-darah di bumi, sebagaimana dalam Alien (1979), Forbidden World (1982), Predator (1987) dan The Abyss (1989).

Namun, ada pula beberapa film horor berwarna 'abu-abu'; film2 yang lebih bercorak action (dengan indikasi one man show-nya) dan meletakkan unsur horor berikut berbagai karakter khasnya ‘hanya’ sebagai background. Captain Kronos (1974), Blade (1998), The Mummy (1999), Underworld (2003), Van Helsing (2004) dan (film adaptasi game) Resident Evil (2002) adalah beberapa contoh film jenis ini.

Apapun tampilannya, toh film horor secara finansial --mungkin— selalu menjanjikan untuk menguras kantong mereka yang rela ditakut2in, secara ia relatif bisa menggali sebanyak mungkin mitos dan ‘ketakutan’ di setiap pelosok dunia sehingga ‘hantu’ bernama ‘bosan’ bisa dihindari. Bahkan dengan berdasar tema dan alur cerita yang ‘umum’ pun, kreatifitas beberapa penulis/sineas dapat melahirkan film2 horror yang secara cerdas mengelaborasi aspek 'artistik' dari kengerian dan kesadisan. Dan Alfred Hitchcook telah mempelopori style horror seperti ini lewat Psycho (1960), yang bisa dikatakan ikut 'berjasa' atas munculnya film2 horror cerdas yang endingnya sukses mengaduk-aduk emosi serta menjungkir-balikkan logika semisal The Sixth Sense (1999), The Others (2001) dan Stephen King’s The Mist (2007)!

Inilah sekedar yang saya tahu...

(diolah dari berbagai sumber)

Minggu, 03 Mei 2009

AwARD dan Pe-De...

"Wah, awardnya oye, Pak" kataku pada Pak Sukalér sambil memandangi award ini:
Award ini baru saja diantarkan Pak Sukalér pada saya, katanya kiriman dari temen sepiu saya (kalo cewek ya sepia, lah!), si بوويل alias alias Cah Cikrik (untuk itu saya ucapkan TERIMAKASIH seGEDE GAJAH BUNTING DIHAMILIN PAUS!). Na, sepiu saya ini, sodara-sodara, agak rada2 'antik' gitu. Kalo Bang JONK pe-de dgn alisnya, maka cowok bernama asli علي عفيف ini malah pe-de dengan tumitnya, hehehehehe....

Oiya, inget pe-de, jadi inget kisah kacau bin balau yang tadi sempat diceritakan Pak Sukalér, yang katanya merupakan pengalaman Pak Paémut saat masih jadi pekerja kantoran. Ceritanya gini...

***

Hari itu adalah hari pertama seorang pejabat yang baru naik pangkat menempati kantornya.

Untuk memberikan kesan 'orang penting' Saat melihat salah seorang pegawai (ya si Pak Paémut itu) memasuki kantornya, si pejabat langsung mengangkat telepon di mejanya, men-dial, lalu berkata (dengan suara agak dikeraskan):

"Halo, Pak Wapres? Iya Pak. Ini saya sendiri.... iya...iya... Ah, cuma bantuan seperti itu Bapak gak usah repot2 berterimakasih, lah. Lagian kan memang kewajiban saya untuk membantu sesama... Iya, betul...betul... Oh, jadi sore ini, Pak? Jam berapa? Ok, nanti saya ajak deh. Maklum, si bungsu sudah kangen main sama cucu Bapak, hehehehehehe... Oke, Pak. Sampai nanti sore. Selamat pagi...", si pejabat mengakhiri pembicaraan, meletakkan gagang telepon di tempatnya, lalu pada Pak Paémut yang berdiri menunggu di ambang pintu ia bertanya:
"Ada apa?"

Dengan wajah polos dan tak merasa bersalah, Pak Paémut menjawab: "Eh, anu, Pak. Telepon yang barusan Bapak pake, Saya cuma mau masang kabelnya..."